janda
Fiqh Janda
Oleh : Et-Tamami
....
Pembahasan janda dalam fiqh dikenal dengan istilah الثُّيُوبَةُ (al-Tsuyūbah) sedangkan si jandanya dikenal dengan istilah ثَيِّبٌ (Tsayyib). Istilah tersebut sesuai dengan hadits Nabi Saw Yang dikeluarkan oleh Imam Muslim:
الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَنَفْيُ سَنَةٍ، وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ
“Perawan dengan perjaka (jika berzina) maka dicambuk 100 kali dan diasingkan setahun. Duda dengan janda (jika berzina) maka dicambuk 100 kali dan dirajam”
Di sisi lain janda juga dikenal dengan istilahnya الإِْحْصَانُ (al-Ihshān), namun ada perbedaan antara keduanya; jika janda dengan istilah al-Ihshān bermakna seorang wanita yang pernah dijima' melalui pernikahan yang sah sedangkan Tsayyib adalah wanita yang pernah dijima' baik melalui pernikahan yang sah atau tanpa pernikahan (1).
Fiqh mengatur urusan perjandaan dalam pernikahan, dalam hal ini dibedakan antara janda yang masih kecil atau yang sudah dewasa.
-------------------
Untuk janda yang telah dewasa maka ia tidak boleh dinikahi kecuali atas izin dari dirinya sendiri menurut pendapat umum para ulama dimana mereka berpijak kepada dalil yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari & Muslim:
لاَ تُنْكَحُ الأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ
”Janda tidak boleh dinikahkan sehingga dia diminta perintah-nya... ”
Dalil di atas didukung oleh hadits riwayat Abu Daud:
لَيْسَ لِلْوَلِيِّ مِنَ الثَّيِّبِ أَمْرٌ
“Seorang wali tidak memiliki perintah terhadap seorang janda”
Namun ada riwayat yang berbeda substansinya seperti yang dikatakan oleh Imam al-Hasan al-bashri:
لِلأَْبِ تَزْوِيجُ الثَّيِّبِ الْكَبِيرَةِ وَإِنْ كَرِهَتْ
“Seorang ayah boleh menikah putrinya yang janda meskipun ia tidak suka” (2)
-------------------
Selanjutnya adalah janda yang belum dewasa, dalam perkara ini ada perbedaan pendapat di kalangan ulama;
a) Menurut Madzhab Hanafi, Maliki dan Hanbali bahwa seorang wali boleh menikahkan putrinya yang janda namun belum dewasa tanpa persetujuannya karena dianalogikakan seperti perawan atau anak kecil. (3)
b) Menurut Madzhab Syafi'i dan sebagian Hanbali berpendapat bahwa tidak boleh ada unsur paksaan bagi seorang wali meskipun ia masih kecil dan harus meminta izin darinya; mengingat alasannya paksaan merupakan pembeda antara perawan dengan janda bukan usia kecil atau dewasa, dan alangkah lebih baik untuk menunda pernikahan putrinya yang janda dalam usia di bawah umur yang sudah tidak perawan untuk menunggu ia sampai usia baligh dan ia memilih sendiri. (4)
-------------------
Tidak ada perbedaan di antara ulama bahwasanya izin seorang janda terletak di ucapannya atau isyaratnya atau mungkin juga melalui tulisannya.
Permasalahannya adalah janda seperti apa yang ucapannya itu dianggap;
a) Menurut pendapat masyhur Madzhab Hanafi dan Maliki dan juga Madzhab Qadim Syafi'i, janda yang dianggap ucapannya adalah seorang wanita yang pernah disetubuhi dibagian depannya dengan cara yang halal. (5)
b) Menurut madzhab Syafi'i dan Hanbali dan merupakan pendapat Madzhab Maliki dan Madzhab Hanafi menurut pendapat Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad mereka berpendapat bahwa tidak ada perbedaan antara janda yang disetubuhi secara halal atau haram selama masih di bagian depan. (6)
c) Jika keperawanannya hilang dikarenakan kecelakaan bukan karena disetubuhi maka statusnya masih perawan menurut pendapat Imam empat madzhab dalam pendapat yang Ashāh; uniknya ada pendapat dari Madzhab Syafi'i yang menganggap keperawanan yang hilang karena kecelakaan meskipun tidak disetubuhi dihukumi sebagai janda namun ini adalah pendapat yang lemah dan ada perbedaan antar Ashab Syafi'iyah. (7)
Wallahu A'lam
Referensi:
(1) Tajul 'Arus; Lisanul 'Arab; al-Misbah al-Munir
(2) al-hidayah 1/197; al-Fatawa al-Hindiyah 1/289; al-Qawanin al-Fiqhiyah 204; al-Qalyubi 3/323; al-Mughni 6/493
(3) ibid
(4) ibid
(5) ibid
(6) ibid
(7) ibid dan Raudhah Thalibin 7/54
Komentar
Posting Komentar